Adulthood

  Saat aku menulis ini sudah pukul 1.39 dini hari. Akhir bulan Maret di tahun 2021. Aku dengan harapan -daripada nggak sama sekali-ku sudah ...

 

Saat aku menulis ini sudah pukul 1.39 dini hari. Akhir bulan Maret di tahun 2021. Aku dengan harapan -daripada nggak sama sekali-ku sudah mengoleskan perawatan wajah yang sebenarnya buat apa juga dipakai saat kulit sudah seharusnya beristirahat begini. Kata Aya sih, baiknya dipakai sebelum jam 11 atau 10 ya aku lupa. Tapi kata dia juga: daripada enggak? Lol.
Aku pun sudah bersiap untuk merapikan kasur, mematikan lampu, lalu membaca komik digital seperti biasa. Sebelum mendadak teringat masa-masa aku masih bekerja sebagai SPG di sebuah mall di kota tempat tinggalku, Yogyakarta.

Saat itu aku kejatahan shift pagi. Seperti biasa pula, karyawan musti beberes dan menyiapkan konter masing-masing. Walau toko-toko di mall punya cleaning service-nya sendiri, tapi tetap saja kami harus menyapu debu-debu di konter kami paling tidak sampai di jalur yang akan dilewati cleaning service. Untuk memudahkan pekerjaan mereka, kurasa. Tapi seingatku hari itu ada yang tidak biasa. Hari itu sepertinya akan ada inspeksi, atau apalah itu. Semuanya bersih-bersih lebih ekstra. Ya, anggap saja begitu. Atau memang hanya aku saja yang ekstra karena aku dengan gagahnya memanjat pilar hanya karena disuruh teman kerjaku untuk membersihkan debu di langit-langit. “Koe kan dhuwur”, adalah senjata andalan para perempuan untuk memperkerjakanku di bidang panjat memanjat.

Lalu apa masalahnya? Aku memang terbiasa dengan urusan panjat memanjat; hasil masa kecil hobi penek’an bersama sepupuku yang bandel (pada masanya) Iqbal. Tapi saat itu aku tidak mengenakan celana pendek seperti dahulu, kali ini aku sedang memakai rok span seragam SPG. LOL.

Menurutku bukan rahasia sih, tapi barangkali semua orang tidak tahu, aku selalu pakai rangkap celana boxer jika memakai rok. Dan saat sedang fokus meraih debu-debu di langit-langit mall dengan sapu, teman-teman kerjaku heboh dan tertawa. Entah bagaimana bajuku terangkat sedikit (atau banyak?) atau mungkin dalaman favoritku itu kelihatan dari bawah? Entah bagaimana pemandangan yang mereka rasakan dari bawah sana.. Ternyata ketahuan pakai boxer bukan atas seizinku adalah hal yang memalukan juga.

Terlebih karena di sana, di lantai yang sama, ada seorang Visual Merchandiser yang kuidolakan selama masa kerja. Sangat mungkin dia tidak memperhatikan, tapi kan, kemungkinan dilihat juga ada. Mengingat aksiku yang ekstra dan bisa dilihat dari jauh. Haha..... tidak pernahkah aku punya citra baik nan keren? ... :’)

Citra yang kudapat memang selalu saja berulang, di manapun lingkungannya. Di SMK dan di perkuliahan contohnya, kesan pertama yang dilontarkan teman-teman kepadaku adalah seorang anak nakal. Aku berusaha memahami sudut pandang ini, karena memang diriku sendiri yang berperan dan bertanggung jawab atas citra itu, kan. Aku bersikap ramah dan bergaul dengan cowok-cowok (cewek juga sih), aku memakai celana sobek-sobek dan mirip cowok, bertingkah slengek’an. Ya, tidak masalah juga sih, asal jangan selamanya dikategorikan sebagai anak nakal saja, karena fase selanjutnya dari mengenalku adalah menyematkan citra anak absurd dan konyol padaku. Ini bukan diriku yang narsis atau penilaian subjektifku ya, ini hasil survei!

Walau citraku aneh-aneh begitu, si mas-mas VM yang kuidolakan itu men-followback akun Instagramku. Hahahaha! Aneh sekali, entah bagaimana kemampuan penelusuranku sampai bisa ketemu akunnya yang sama sekali tidak pakai nama asli (duh, sebenarnya gampang, psssst! aku mencari-cari semua akun yang mungkin dia follow atau men-tag fotonya).

Setelah aku berhenti kerja, mas-mas VM yang dulunya saban hari kucari-cari dan tidak pernah ngobrol banyak denganku itu membalas story Instagramku. Mungkin ini biasa saja baginya, apalagi dia punya pacar dan kabar dia mau menikah sudah jadi perbincangan di tempat kerja. Tapi bagiku yang saat itu masih anak bau kencur, baru lulus sekolah dan baru dapat SIM, itu hal yang bikin heboh.

Yang kuingat lagi, saat-saat kantor mengadakan event, aku selalu tebar pesona. Haha. Lucu banget, kan, anak kecil yang caper ke orang dewasa. Dia juga nggak setua itu, sih..

Pernah suatu kali sedang ada penyuluhan tentang kebakaran. Kami semua berkumpul di rooftop untuk praktek penggunaan alat damkar. Aku, lagi-lagi dengan (merasa) gagah, mengajukan diri untuk menjajal benda yang selalu kulihat di tempat umum itu. Selain penasaran, tentu saja karena aku ingin diperhatikan mas idola. Ternyata alat damkar berat sekali, sial. Aku yang bahkan tidak mau angkat gas 3kg ini kepayahan. Yang lebih lucu lagi, setelah turun dari atap dan di konter, teman-teman kerja yang dekat denganku menertawaiku. Rupanya mereka tahu maksud terselubungku cuma kepingin pamer ke mas idola. Malu, hei..

Apalagi ya, banyak sih hal kecil yang terjadi, seperti menyapu sampai ke depan ruangannya saat bersih-bersih besar (aku lupa ini tiap apa), hanya untuk mengecek ada kah dia di dalam sana?? :< :D

Atau saat duduk berdua, pakai sepatu bareng seusai sholat di mushola. Tentu sambil basa-basi dengannya aku pasang muka sok cool, kemudian melenggang pergi dengan santai sampai akhirnya bercerita dengan hebohnya ke teman-teman dekatku di sana.

Bagiku yang saat itu sedang mengemban beban berat di pikiran dan hatiku, yang saat itu tidak punya tempat untuk bersandar, menggemari seseorang di tempat yang melelahkan itu adalah satu-satunya penyemangat. Hal yang bisa membuatku terjaga dan setidaknya sedikit bertenaga. Walau aku pun tidak ingin lebih dari itu. Sesuatu yang singkat dan menyenangkan.

Aku kerap kali ingin menangis, dan pernah benar-benar hampir meneteskan air mata saat bekerja. Air mata yang susah payah kutarik kembali karena seorang pelanggan mendatangiku. Akupun harus bersikap profesional, walau di saat itu aku belum tahu apa dan bagaimana cara profesional, aku hanya berusaha. Mengikuti SOP kantor, tersenyum, menurunkan nada bicaraku dan melayani seramah mungkin.

Aku juga berseteru dengan partner kerjaku. Aku lelah, aku sakit. Di masa haidku yang paling menderita karena harus berdiri 8 jam, dengan sepatu ber-hak yang tidak pernah kupakai sebelumnya. Rasanya ingin pingsan tapi entah tubuh atau kesadaran atau rasa tanggung jawabku yang mengkhianatiku, aku tidak pingsan. Tidak pernah seumur hidup.

Ya, kehidupan dewasa, semua orang mungkin akan mengalaminya. Dan di saat itu tiba kita akan mencari-cari dan menjadikan seseorang sebagai kekuatan untuk bangun di pagi hari. Lagi dan lagi.

 

Yogyakarta, 31 Maret 2021

You Might Also Like

2 cuaps