Yang Hari Itu Masih Remaja hehehe

Hai. Aku ingin bercerita tentang aku. Aku yang jatuh cinta, mereka bilang. Ini bukan yang pertama. Walau aku masih anak-anak, menurutku...

Hai.
Aku ingin bercerita tentang aku. Aku yang jatuh cinta, mereka bilang.
Ini bukan yang pertama. Walau aku masih anak-anak, menurutku.
Hari ini tanggal 27 November 2015, umurku masih 16 tahun. Entah pantas atau belum, itu tidak penting. Apapun ketentuannya, perasaan yang aku rasakan saat ini nyata.
Aku bertemu dengannya hampir satu tahun yang lalu. Di bulan Desember.
Saat berangkat dari rumah, aku tidak berencana untuk jatuh cinta tentu saja. Aku tidak tau apakah Tuhan ingin menumpahkan warna terang untuk masa mudaku atau apa. Yang jelas, aku bersyukur atas apapun tujuan kami dipertemukan.
Dia dihadirkan untukku yang pernah membenci pria. Dia dihadirkan untukku yang takut jatuh cinta. Dia dihadirkan untukku yang kehilangan kepercayaan atas hubungan pria dan wanita beratapkan cinta. Dia dihadirkan untukku yang pernah berjanji tak akan menyanyikan lagu cinta. Dia dihadirkan untuk berperan dihidupku. Memperbaiki kerusakkan di diriku.
Itulah yang aku katakan pada diriku di masa lalu, yang terus-terusan berteriak. Meronta. Memintaku berhenti. Kau seharusnya tetap seperti aku, katanya. Yang acuh dan benci pria, jelasnya.
Diriku kian menakutiku. Mendesakku. Memblokade jalan manapun agar tak mampu dilewati harapan.
Bagaimana bila kuceritakan saja. Baiklah, diriku. Diam dan dengar baik-baik.
Dia bukan pangeran gagah berani, tentu saja. Aku keluar dari dunia dongengku. Benar-benar tak kutemui tokoh bualan ciptaanku di dunia nyata.
Dia hadir dengan senyum merekah, silau ku melihatnya. Dia benar-benar tertawa, tawa yang lebih tulus dariku. Sesuatu darinya membuatku terhenti kala itu. Saat pertama itu.
Tanpa sadar, senyumku selalu mengembang tiap melihatnya.
Dia tidak seperti teman-teman priaku. Dia tidak suka menentang, membelot, apapun itu, hal-hal menyenangkan bagiku, yang ia sebut nakal.
Dia tidak seperti teman-teman priaku. Dan juga sepertiku. Dia lebih suka pulang dan makan masakan ibunya di rumah, ketimbang ditraktir temannya.
Dia tidak seperti teman-teman priaku. Suaranya sama sekali tidak nge-bass. Dia berbicara dengan halus. Tidak sepertiku pula. Aku suka menggunakan suara datar dan dalam atau berteriak. Itu sebabnya aku merubah nada bicaraku. Lebih kuperempuankan di depannya.
Dia tidak seperti teman-teman priaku. Dia tidak pernah mengajak gadis manapun pergi. Dia selalu jatuh cinta diam-diam. Dia tidak memiliki pengalaman berhubungan dengan gadis. Itu sebabnya ia sangat kacau saat mengajakku pergi pertama kalinya, saat datang ke rumahku.
Dia tidak seperti teman-teman priaku. Yang bermulut kotor. Bersumpah serapah. Memaki dan mengumpat. Itu sebabnya aku malu dan merubah bahasa sehari-hari yang ku gunakan bersama teman-teman priaku.
Dia tidak seperti teman-teman priaku. Yang jorok. Berantakkan. Dan bangga bisa memanjangkan rambut. Itu sebabnya aku malu dan merubah kebiasaanku, merapihkan penampilanku, juga rajin-rajin mandi. Tak lupa menyisir rambutku.
Dia tidak seperti teman-teman priaku. Dia menganggapku perempuan. Dan tidak kasar padaku.
Dia tidak seperti pria-pria yang pernah mendekatiku. Dia tidak mengasihaniku saat ku ceritakan kisahku. Dia sulit memahami puisi-puisiku, dan dia mengatakannya, dia tidak berpura-pura paham. Dia tidak suka membaca buku, dan dia mengatakannya, tidak berpura-pura suka.
Dia orang yang jujur. Lebih jujur dariku.
Dia terkadang malu. Sama sepertiku.
Dia pelupa. Sama pula denganku.
Dia sopan, ramah, dan dewasa. Kata ibuku.
Dia sering kehabisan topik pembicaraan. Tak sama denganku. Tapi sekarang dia perlahan menguasai pembicaraan. Dan aku kehabisan topik.
Dia lebih sedikit mengatakan tentangnya. Lebih banyak mendengarkan. Tapi sekarang dia mulai mengatakan tentangnya, keluarganya, dirinya.
Dia malas. Sama sepertiku. Tapi sekarang dia lebih bersemangat. Mengatakan banyak hal tentang masa depan. Merencanakan banyak hal untuk masa yang akan datang.
Dia tidak berhenti bersikap seperti anak-anak. Tapi dia tidak pernah kekanak-kanakan.
Dia mudah mengasihani. Aku lah si tukang main kasar, dia lah si penuh welas asih dan kelembutan. Begitu kiranya.
Kami punya kesamaan. Bintang, hewan yang disuka, selera tontonan, kata orang kami sama-sama aneh.
Kami punya perbedaan. Jenis kelamin, tempat tinggal, orang tua. Ehem. Kami sering berbeda pendapat. Aku suka fotografi, dia tidak. Aku suka buku, dia tidak.
Aku tidak tau bagaimana perasaannya terhadapku. Tapi dia banyak melakukan hal manis untukku. Hingga rasa-rasanya aku tak ingin tau kebenaran. Aku hanya ingin kami terus seperti ini. Aku rasa aku terlalu cepat puas dan terlalu takut kehilangan.
Terkadang aku tak ingin berharap hal baik untuk kami. Aku tak ingin pula berharap hal buruk, tentunya. Aku sungguh pengecut.
Kadang aku merasa dia sangat jauh. Meski dia sedang duduk di sebelahku sekalipun. Kadang dia melamun dan diam. Aku sempat mengira dia tidak senang atau bosan ketika bersamaku.
Aku tidak tau bagaimana jadinya bila suatu hari dia pergi dari hidupku.
Aku tidak tau bagaimana jadinya bila suatu hari dia menemukan gadis yang ia sukai, dan bukan aku.
Aku tidak tau bagaimana jadinya bila bahkan suatu hari itu tidak ada.
Yang aku tau, aku sangat menyukainya. Selalu dan selalu dia. Menyelipkan dia dalam setiap obrolan dengan teman, juga dalam obrolan dengan Tuhan. Memperhatikannya dari kejauhan. Menunggunya tanpa dia tau. Menuliskan namanya dan namanya tanpa sadar. Teringat dan teringat kapan pun. Mengkhawatirkannya. Mengawasinya. Apapun, aku ingin tau tentangnya. Tapi tak ingin mengusiknya atau dia tau sekali pun.
Yang dia tau, aku menyukainya. Mengabaikan laki-laki yang mendekat dan memilihnya.
Aku ingin memberi apa-apa yang bisa kuberi untuknya. Aku sungguh ingin menjadi orang yang ia cari saat ia butuh berkeluh kesah. Menjadi orang yang mendukungnya. Orang yang marah dan membenarkan jika ia salah arah. Aku ingin memberi senyum terbaikku. Membuatkannya kue yang dia suka. Apapun. Apapun. Yang ku bisa untuk membantunya. Untuk segala yang baik.
You are the only exception..
You are the only exception..
You are the only exception..
You are the only exception..
You are the only exception..
You are the only exception..
You are the only exception..
You are the only exception..
And I am on my way to believing..
Oh and I am on my way to believing...


Dapatkah aku mempercayakan perasaan ini kepadamu?
Kini keresahan yang sejak awal membuntutiku telah berhasil menyandingku. Merasukkiku.
Tentang mengapa kau mengatakan kemungkinan kau akan menyukaiku suatu hari, saat pertama kali aku memberitaumu tentang perasaanku.
Tentang mengapa kau tak lekas menolakku dengan jelas. Dan memberiku akhir.
Tentang mengapa kau berbaik hati kepadaku. Atau memang ke semua orang.
Tentang apakah aku hanya menjadi kawan bagimu, karna kau tak ingin sendiri dan sepi.
Tentang mungkinkah kau hanya kasihan padaku.
Tentang apa kau tak punya keberanian untuk menghancurkan secara jelas dan malah memberi harapan kosong yang menghancurkan secara perlahan.
Tentang apa artiku bagimu.
Dirimu masih tertinggal pada sesuatu atau mungkin seseorang.
Aku mulai takut. Takut menyia-nyiakan waktuku. Waktu produktifku yang dulu selalu kugunakan untuk belajar dan meneriakkan cita-cita.
Bagaimanapun, tanpa ku beri perintah, jiwaku akan terus dan terus memikirkanmu.
Hei. Ini mengusikku.
Tak bisa, ya, kau lekas menolakku dengan jelas? ..
Aku tidak akan pergi bahkan bila ditolak. Ini tidak seperti aku harus meninggalkan perasaan dan orang yang ku suka. Cukup apa yang aku rasakan, tidak denganmu.
Ya. Katakan.

You Might Also Like

0 cuaps