Confenssion
9:11 PM
Confenssion
Oleh:
Fidell R
“Hei !!!”, aku meneriakki teman-temanku yang kemudian
mendorong dan meninggalkanku bersamanya. Aku sudah mau pergi lagi saat dia
membuka suara.
“Ada apa?”, tanyanya. Seperti biasa, dengan suara dan raut
menyenangkan, tenang.
“.........Eh......”,
aku kebingungan. Bukan dengan maksud pertanyaannya, dengan jawabannya.
“Tadi Edgar
bilang, kamu mencariku. Ada apa?”, ulangnya dengan penjelasan, kalau-kalau aku
selambat anak umur lima tahun. Tidak!
“Eh.....
tidak... uhm..’, jawabku terbata. Jelas sekali ada apa-apa! Sungguh! Benar
saja, aku selambat anak lima tahun dalam urusan seperti sekarang.
“Ya sudah... tidak usah di paksakan..”, ujarnya. Senyum yang
selalu terpasang di wajah itu justru membuatku lemah. Kakiku seakan terpaku di
tanah. Ingin mengatakan sesuatu, dan akhirnya tidak sanggup. Lagi. Lagi, dan
terus menerus. Entah berapa kali. Entah berapa lama aku berfikir, merancang,
dan menghafal apa yang ingin ku katakan. Hasilnya sama saja. Payah, sangat
payah.
“Del?”.
“Delta??”, panggilnya.
Ah... tatapan hangat itu. Mungkinkah aku berlebihan.. Tapi,,
Ah... tatapan hangat itu. Mungkinkah aku berlebihan.. Tapi,,
“Delta??!! Hei? Jangan tidur!”, dia mengguncang bahuku. “Mana
ada orang tidur tapi matanya terbuka”, protesku. Dia hanya tertawa.
Dia .... sungguh mudah sekali tertawa. Tersenyum.. dan
membuat semua orang di sekitarnya melakukan hal yang sama. Tidak! Aku kesini
bukan untuk berakhir seperti kemarin-kemarin!
Aku...
setidaknya aku harus mengatakan keresahan ini!
Aku....
“Del? Kamu kenapa?”. Aku tersentak.
Tanpa sadar aku menarik ujung bajunya. Buru-buru ku sembunyikan tanganku.
Bodoh! Delta
bodoh!
“Kamu demam? Mukamu merah, loh! Keren
!”, dia menyentuh keningku sambil terkagum-kagum. Entah khawatir atau
kegirangan. Ah.. ini dia yang membuatku tak bisa lepas sejak pertama
melihatnya. Sikap apa adanya. Sekaligus kedewasaan.
Aku diam. Hanya berani menatap tali
sepatunya. Dia menungguku bersuara.
Aku membuka
mulut, menarik nafas, gagal berkata. 4 bulan mungkin terlalu cepat. Tapi aku
tetap harus memberitaunya. Sesuatu yang menggangguku setiap saat. Berharap aku
akan tau apa yang seharusnya ku lakukan setelah itu.
“Kak!”, panggilku tiba-tiba. Aku
sendiri terkejut. Saking gugupnya, suaraku keluar terlalu kencang. Nyaris berteriak.
“Iya, kenapa?”, suaranya kian
melembut. “Aku...”, aku mencoba memutar kembali semua perenunganku. Hal-hal
yang sangat ingin ku keluarkan dari puisi-puisi tentang perasaanku.
Aku mencoba menatap wajahnya. Oh bodohnya!
Sekarang aku malah kehilangan kemampuan berfikir! Hei, kemana perginya Delta
yang pandai bicara, Delta yang tak pernah kehabisan kata-kata saat lomba debat,
Delta yang selalu tau semua kata-kata indah untuk prosanya, Delta yang seperti
tak punya malu saat bermain bajak laut di SMA, Delta yang ...
“Kamu mau membicarakan sesuatu yang
penting, ya? Pelan-pelan saja. Tidak usah grogi denganku!”, dia terus-terusan
tersenyum lembut. Ya! Dia selalu bisa membaca situasi. Dia selalu tau cara
mengatasi sesuatu, walaupun dia biasa terlihat seperti anak kecil.
Aku menghitung
sampai sepuluh dalam hati.
“Tentang janjiku waktu itu. Janji memberitau
siapa orang yang ku sukai. Waktu itu kakak sangat penasaran, bukan?”. Aku kembali
memikirkan apa yang akan ku katakan.
“Iya! Sampai sekarang aku masih mau
tau. Tapi kalau kamu keberatan lebih baik tidak usah.. Ini hanya keinginan
kekanak-kanakkan.. hehe..”, jawabnya. Dia mengusap belakang kepalanya.
“Dia kakak kelasku..”, aku
melanjutkan tanpa menghiraukannya. Sudah kepalang basah! Peduli setan dengan
rasa malu!
“Aku belum lama mengenalnya, tapi
aku sudah tertarik sejak pertama bertemu dia di festival musim panas. Dia berseru
senang, menganggumi semua hal disana, sama sekali tidak terlihat seperti kakak
kelas. Tapi itu yang membuatku suka. Dia menjadi apa yang dia mau. Tidak peduli
pendapat orang. Dia sungguh lebih mengerti”, aku berhenti sebentar saat angin
menghembus wajahku, menghempas sedikit dari kesadaranku, kesadarannya. Dia diam
saja. Aku tau dia sedang memikirkan sesuatu, tentang sepotong kebenaran yang
baru ku sampaikan.
“Aku ingin lebih mengenalnya.. 4
bulan ini aku dekat dengannya, berjalan di sampingnya. Tapi aku merasa,
walaupun aku di sampingnya, walaupun kami saling bercanda, dia tidak pernah
melihat kesamping, melihatku...”.
Aku membidik
langit. Tak sanggup melihatnya. Takut
menerka reaksinya.
“Sekarang, aku hanya ingin dia tau,
hanya itu...”.
Ya.. aku
sebenarnya sudah tau. Dia pasti menyadarinya sejak awal. Aku tau. Karena aku selalu
di sampingnya. Melihatnya. Memandangnya. Memahaminya.
Kanvas sore semakin di penuhi warna
senja. Warna dari segenap perasaanku, yang ku berikan tanpa berharap kembalian.
Perasaan tentang pemahaman singkat. Atmosfer sekitar pun ikut menghangat, untuk
perasaan yang baru akan tersampaikan..
Aku berbalik, menatap wajahnya. Benar-benar
menatapnya. Jika dia tidak melihatku di sampingnya, maka aku akan berdiri di
depannya, agar dia menatapku. Hanya itu.
Entah ini
bisa atau tidak bisa di namakan cinta. Entah ini sejati atau sesaat. Yang terpenting
adalah apa yang ku rasakan saat ini adalah kenyataan.
Dan kini kami
saling menatap. Saling melihat kilauan yang tersirat di dua mata masing-masing.
“Orang itu... kamu, kamu orang
itu...”
-Fin
0 cuaps