Carousel
oleh: Fidell R
Orang
dewasa seperti apa yang kamu impikan?
Seperti
apa orang dewasa yang baik itu?
Orang
dewasa yang semua orang pikir baik, itukah?
***
“Arin.”
Aku beralih dari
piringku, “iya, ma?”
“Bagaimana ujian
sekolahnya?”
Ah, pertanyaan itu
lagi.
“Lancar, kok,” jawabku setelah susah payah
menelan. Sebisa mungkin memperdengarkan suara bahagia.
“Bagus. Jadi dokter,
itu yang kamu mau, kan. Tinggal pertahankan
peringkat satu-mu. Jika kamu butuh apapun, bilang ke mama. Kamu hanya perlu
fokus belajar. Asal kamu nggak main-main seperti ayahmu, kamu pasti bisa
sukses.”
Dan
jadi orang dewasa yang baik, lanjutku dalam hati.
Ya.
Aku hanya perlu
berjalan di jalur yang sudah ada.
Bila aku terus berada
dalam lintasan, aku akan menjadi orang dewasa yang baik.
Bukan orang dewasa yang
kekanak-kanakan, seperti ayah.
“Benarkah?”
Hah? Siapa?
“Sebelah sini!”
Ah, anak kecil. “Sedang
apa kamu?” tanyaku.
“Benarkah kamu akan menjadi
orang dewasa yang baik?”
“Tentu sa-“
“Yang seperti apa? Apa
kamu akan mendapat pekerjaan yang sudah ditentukan? Kamu akan menikah di usia
yang sudah ditentukan? Seorang dewasa dengan hidup yang sudah ditentukan?”
berondongnya.
“Ha? Apa maksudmu?” Dan
kenapa pula anak ini?
“Benarkah kamu akan
menjadi seperti itu?”
Aku tidak mengerti.
“Kamu, mengikuti arus?”
Anak itu memasang wajah
sendu.
***
Aku menghembus napas
lega. Ujian matematika kali ini lebih mudah dari dugaanku. Sedari sekolah
menengah pertama aku sudah belajar giat dan mendapat peringkat satu. Dengan
begini, aku akan lulus dengan baik, aku bisa masuk universitas kedokteran.
Seperti yang diharapkan.
Aku jenius. Seperti
yang diharapkan.
Aku akan jadi dokter.
Seperti yang diharapkan.
Hidupku akan terjamin.
Seperti yang diharapkan.
Tidak seperti ayah,
yang tidak bisa diharapkan.
“Heeeeeiiiiii!!” teriak
sebuah suara melengking entah dari mana.
Aku terkejut.
“Aku disini!!”
Ah, anak itu. Dia
membawa boneka yang tidak dibawanya kemarin.
“Oh, ini ya.
Perkenalkan, namanya Pito,” dia mengulurkan tangan si boneka, seolah boneka itu
memang bergerak sendiri.
“Kenapa diam saja? Tuan
Pito menyapamu! Eh, Tuan Pito, jangan bicara begitu. Dia mungkin hanya tidak
mendengarmu.”
“Kenapa malah bingung?”
“Jangan-jangan.. kamu
tidak bisa mendengar suaranya?”
Anak itu
terkaget-kaget. Seakan mendengar suara boneka adalah hal normal yang bisa
dilakukan semua orang.
Situasi ini janggal
sekali, aku memutuskan untuk memberinya penjelasan, “Aku sudah tidak bermain
boneka. Aku sudah besar.”
Mulutnya malah makin
menganga.
“Apa kamu lupa? Melupakan
cita-citamu, bukankah itu menyedihkan? Bahkan sekarang kamu sudah tidak bisa
berbincang dengan Tuan Pito..”
***
Pertemuan dengan anak
aneh itu membuatku memandangi mereka selama setengah jam. Tak satupun
mengeluarkan suara. Aku berusaha berkomunikasi lewat tatapan.
Percuma.
“Hei, mengapa kalian
diam saja?”
Masih sama.
“Ayolah, mengobrol
seperti dahulu.”
Senyap.
“Padahal kupikir akulah
yang paling memahami kalian..”
Hahaha..
Aku sudah tidak bisa,
ya.
Aku rasa aku memang
waras.
Aku tertunduk. Ini
terasa sangat konyol. Sekaligus menyedihkan. Semua menghilang dengan cepat. Tak
menyisa barang satu pun.
Boneka-boneka itu masih
pada posisi semula. Sama persis seperti saat terakhir kami bermain bersama.
Ah, kapan ya..
Aku sampai lupa.
Aku tersenyum, lalu
tertawa-tawa sendiri.
Karena aku tidak bisa
menangis.
***
Papa adalah pendongeng.
Terbaik versiku kecil.
Hidup papa penuh lobak
petualang, serigala pemalu, dan peri-peri hutan.
Pendongeng, adalah
mimpi terindahku.
Tapi dongeng ditujukan
untuk anak-anak.
Pendongeng, bukan
pekerjaan cocok untuk orang dewasa.
Pendongeng, hanya akan
hidup di dunia mimpi.
Aku tidak mau dilabeli
gila seperti papa. Orang-orang sekitar bilang sikap papa tidak sesuai usianya,
kekanak-kanakan.
Papa bisa berbicara
dengan boneka. Papa menamai sayur-sayuran. Papa percaya sihir. Dan papa tidak lagi
menghasilkan uang. Tidak ada yang mau membayar untuk dongeng-dongengnya.
Itulah mengapa mama
melarangku menjadi seperti papa.
Dan papa pun pergi.
Menuju dunia
fantasinya.
Aku, memutuskan
menuruti mama dan membunuh dengan tega mimpiku. Pendongeng, sudah mati suri
selama bertahun-tahun.
***
“Lihat!”
Lagi-lagi, suara khas
anak kecil yang memekakkan telinga itu.
“Aku menggunakan
sihirku dan membawamu ke masa lalu. Untuk membantumu mengingat!” dia
berseri-seri.
Apa maksudnya? “Aku
adalah penyihir!” bebernya seraya mengedipkan sebelah mata.
“PAPA!!”
Suara nyaring lagi.
Tapi kali ini bukan dari anak di sebelahku. Suara ini..
“PAPA!! JANGAN PERGI!!”
Ah, anak itu..
aku?
Suara nyaringnya
menghentikan langkah seorang dewasa.
“Papa mau kemana?”
Aku beralih pada orang
yang diajaknya bicara.
Ah!
“Papa akan menuju dunia
papa. Dunia yang cocok untuk papa. Untuk saat ini kamu tumbuhlah dewasa seperti
kata mama agar bisa bertahan hidup.”
Orang dewasa itu
tersenyum. Mengelus pelan kepala anak itu.
“Papa harap kelak kamu
bisa melihat padang bunga,” Ia menyerahkan music
box carousel.
Lalu sesaat kemudian
menghilang.
“Hei! tunjukkan sebuah
sihir!”
Ah, ya, aku masih bersama
anak itu.
Mendadak sekitarku
sudah berubah lagi.
“….
…Aku tidak bisa,” aku
tidak mau meladeni anak-anak.
Dia nampak terkejut.
Seakan hanya aku satu-satunya manusia di bumi yang tidak bisa sihir. “Kenapa?”
tanyanya.
Aku diam. Kenapa?
“Karena itu tidak
logis,” jawabku mantap.
Anak kecil itu diam.
Kurasa dia sedang berpikir.
“Jalan beraspal yang
kamu pijak itu, bukankah dingin?” katanya tiba-tiba.
“Aspal?” aku tahu sejak pertama anak itu aneh.
Tapi makin lama kenapa makin melantur begini.
Masih dengan
terheran-heran, aku melihat bawah.
Bagaimana bisa..
INI JALAN ASPAL
SUNGGUHAN.
Jalan aspal di bawahku,
membentang lurus. Tidak ada apapun di jalan ini. Arusnya sangat cepat.
Pemandangan di kanan kiriku mengabur.
“Kamu harus berhenti,”
suara anak kecil itu membisik dari kejauhan.
Mengapa?
Ini adalah jalan yang
diinginkan orang-orang. Jalan tanpa hambatan, tinggal dilewati. Menuju sesuatu
yang menjanjikan.
“Kamu akan melihat
padang bunga.”
Dimana?
Kupikir bila aku
mengikuti jalan ini, aku pasti menjadi orang dewasa yang baik.
Seorang dewasa yang
diinginkan dan dituju semua orang.
“Orang dewasa” yang
kumaksud. Hidup sesuai urutan. Bersikap sesuai pada umumnya.
Aku berlarian seperti
ini. Kemudian pertanyaan-pertanyaan menjejali. Tanpa bisa kuhentikan. Karena
aku takut menjawab.
Apa aku bertindak
berdasar keinginan?
Mungkin aku hanya
terseret?
Tidak apa-apa, kah?
Aku mulai panik dan
hilang arah. Langkahku terhenti di tepi jalan.
***
“Ini buatan kamu?” pria
itu nampak antusias. Wajahnya gembira, seperti anak kecil.
“Iya! Arin mau jadi pendongeng!
Seperti papa. Hihi,” di sebelahnya, anak kecil sungguhan.
Pria itu mengusap-usap
kepala si anak. Bangga. “Coba kamu tunjukkan ke mama.”
“Ma! Arin menulis dongeng.
Baca, deh!”
Wanita itu tampak
lelah. Wajahnya kusut, raut anak kecil sudah sempurna menghilang dari sana.
“Ma..”
Tersenyum pun tidak
***
Dokter.
Jaksa. Pengacara. Guru. Pekerja kantoran.
Bukankah
itu lebih bagus?
Tapi
mengapa pendongeng?
***
“Papa pernah mengikuti
jalan itu. Tapi hanya satu kali.”
Seperti biasa, keduanya
jalan-jalan di akhir pekan. Berdua saja, karena mama bekerja.
“Jalan apa?” jawab anak
kecil di atas kuda di depannya.
“Jalan yang panjaaaang.
Hanya lurus. Seperti tol. Tanpa hambatan. Tapi papa tidak boleh pelan-pelan
kalau tidak mau tertinggal.”
Anak itu makin erat memeluk
leher kuda-nya.
“Papa bahkan tidak bisa
melihat kanan-kiri. Pokoknya lurus ke depan!”
“Siapa, sih, yang menyuruh papa? Jahat banget,”
kata si anak, kali ini agak kesal.
“Itu semacam tuntutan
setelah dianggap dewasa. Tidak masalah sebelumnya. Papa bisa mengikuti arus.
Tapi, jalanan itu dingin. Sepi. Itu-itu saja. Papa mulai kelelahan. Kemudian
papa berhenti.”
“Lalu??”
“Papa melihat padang
bunga. Pemandangan yang tidak bisa papa lihat saat di dalam aliran.”
Pria dewasa itu
berbinar. Kemudian mengatakan: “Bukan berarti harus selalu melakukan apa yang
diinginkan. Tapi, sebaiknya kita juga melakukan apa yang ingin dilakukan
sebanyak kita melakukan apa yang tidak kita inginkan. Itulah yang namanya
hidup.”
Anak itu berkedip.
Banyak tidak mengertinya.
Mesin dihidupkan.
Kuda-kuda yang mereka
naiki berputar-putar diiringi musik keras dan lampu-lampu warna-warni.
***
“Arin. Kenapa kamu
tidak belajar?”
Mama? Oh, iya.. aku
lupa waktu. Aku lupa aku masih disini, di kamar, menghadap meja belajar tanpa
buku pelajaran. Apa aku ketiduran?
“Arin, berhenti
main-main. Ujian masuk universitas sebentar lagi. Apa mama harus selalu
mengingatkan?”
Ya.
“Bukankah kamu mau
menjadi dokter? Bukankah kamu sudah dewasa.”
Mengapa pula aku
main-main..
“Ma..”
Mengapa pula aku
kembali setelah sejauh ini.
“..Arin mau menulis
dongeng..”
***
“Heeeiii!! Ayoo ikut
aku!”
Ah, itu si penyihir cilik.
Dia menarik tanganku.
Kami berlarian di jalan
becek. Alas kakiku berulang kali hampir terlepas. Tiap-tiap genangan yang
kuinjak mencipratkan air kotor kemana-mana.
Ah, celanaku sampai
begini. Mama pasti marah.
Wajar saja.
Karena ini jalan becek,
kotor, berlubang, berkelok.
Bukan jalan lurus yang
sudah ditentukan. Bukan arus cepat tanpa henti. Bukan jalan dimana aku tidak
dapat menengok selain ke depan.
Setapak becek berliku
ini, jalan dimana aku bisa melihat..
..padang
bunga.
Angin-angin menerbangkan
kelopak bunga, rerumpun, dan .. setitik rasa hangat di hatiku.
“Heeeeiii! Sini naik!”
Kami sampai di taman
bermain.
“Akan kunyalakan mesinnya.
Tenang saja, gratis, kok!” anak kecil itu ceria seperti biasa.
“Itu mainan anak-anak,”
jawabku.
“Kamu suka naik ini, kan?”
Ini bodoh.
Aku harusnya tidak
punya waktu untuk bermain-main. Aku harus belajar. Harus dapat peringkat satu. Aku
harus mencari uang. Makanan tidak akan datang sendiri ke piring. Aku tidak
ingin menjadi bukan siapa-siapa. Aku harus berhenti memikirkan hal tidak
berguna. Aku akan menjadi orang dewasa secepatnya.
Orang dewasa yang
serius.
Mendongeng tidak
membantuku bertahan hidup dalam aliran.
Aku akan jadi dokter,
seperti kata mama.
Tidak ada lagi dongeng.
Aku tidak boleh kekanak-kanakan.
Aku-
“Mengapa kamu
menangis?” Arindina kecil bertanya, “Apa menyakitkan?” tambahnya.
Hah?
Aku?
Menangis?
Arindina tua terkejut.
Sesaat kemudian malah sesenggukan. Perlahan mulutnya membuka dan berkata, “Karena
ini bodoh.
kuda-kuda ini tidak
sanggup membawaku pergi.
kuda-kuda ini hanya
berputar-putar di tempat yang sama. Makanya ini bodoh...” aku berhenti,
menggosok-gosok mataku yang beruraian tangis.
Arindina kecil
mengulurkan tangan. Aliran ini memecah. Kedua Arindina tertiup angin.
Rasa hangat muncul
memenuhiku, bercampur genangan air dan sejuk udara bebas.
“..dan menyedihkan,”
lanjutku.
Kami berdua menaiki carousel besar yang berputar.
0 cuaps